Membuka Bisnis Makanan di Pedesaan
Dalam Usaha Memperbaiki Ekonomi Keluarga
(Bagian 2)
A. Potensi pedesaan dalam bisnis makanan
Gambar 4. Ubi jalar ungu yang siap diolah.
Potensi pedesaan dalam usaha bisnis makanan sangatlah besar. Ini disebabkan karena di pedesaan masih banyak lahan pertanian yang merupakan sumber bahan baku dalam usaha bisnis makanan, selain itu letak pedesaan yang dekat dengan hutan yang juga salah satu penghasil bahan baku usaha bisnis makanan (misalnya madu hutan dan kacang kenari). Banyak potensi pedesaan yang sampai saat belum dimanfaatkan secara maksimal, diakibatkan karena kurangnya pengetahuan SDM dan waktu luang yang tidak dimanfaatkan secara efektif.
Usaha pengolahan makanan juga dapat membantu petani untuk mempertahankan harga jual hasil panennya dan juga meningkatkan nilai tambah dari hasil panen. Misalnya nenas, pada saat panen raya, harga hasil panen akan jatuh karena persediaannya berlimpah dan jika tidak dijual segara maka hasil panen akan rusak, jika di desa tersebut punya usaha pengolahan makanan (misalnya untuk nenas dibuat menjadi selai, dodol, dan manisan) maka sebagian nenas yang dipanen bisa digunakan sebagai bahan baku usaha pengolahan makanan dan harga jual nenas mentah bisa dikendalikan di taraf yang normal dan pengolah memperoleh keuntungan dari proses pengolahan nenas. Contoh harga nenas per kg yaitu Rp 800,- sedangkan harga selai nenas per kg Rp. 3.500,- dengan keuntungan sebanyak sekitar Rp. 1.500.000,- per bulan dengan catatan jika produksi dan penjualan sehari sebanyak 40 kg.
Gambar 5. Nenas setelah dipanen untuk pembuatan dodol nenas.
B. Kendala yang dihadapi
Kendala utama yang dihadapi masyarakat pedesaan dalam mendirikan suatu usaha bisnis makanan yaitu kurangnya pengetahuan dalam pengolahan dan pemasaran produk. Banyak pedesaan yang menghasilkan hasil pertanian yang berlimpah tapi tidak tahu cara mengolah untuk mendapatkan nilai tambah dari hasil panennya. Ada juga usaha pengolahan makanan yang terlanjur berdiri tapi tidak tahu bagaimana menjalankan usaha secara efektif dan efisien dan tidak tahu cara memasarkan produknya. Tanpa pembimbingan pada awal pendirian usaha makanan khususnya di pedesaan menyebabkan banyak usaha makanan yang tutup dengan sendirinya, terutama untuk orang-orang yang baru terjun dalam usaha pengolahan makanan.
Gambar 6. Alat sterilisasi susu yang tidak terpakai di Pondok Rangon
(daerah penghasil dan pengolah susu sapi di Jakarta).
Sering kita dengar adanya bantuan pemerintah dalam memberikan pelatihan-pelatihan SDM, namun hal ini banyak yang kurang sukses karena tidak adanya pendampingan seperti yang disebutkan tadi. Ada juga bantuan-bantuan berupa pemberian alat pengolahan yang katanya tepat guna menjadi tidak tepat guna, alhasil alatnya tidak bisa digunakan. Hal ini dikarenakan karena program sumbangan alat pengolahan tidak mempelajari kondisi tempat dan keadaan pasar terlebih dahulu. Contohnya pada Kelompok Tani Putri 21 di Gunung Kidul Jogjakarta yang mendapatkan alat vacuum frying (penggoreng vakum) untuk pembuatan kripik buah kapasitas sekitar 10 kg yang akhirnya cuma menjadi pajangan dan tidak bisa digunakan, karena tidak ada pelatihan penggunaan alat dan daerah Gunung Kidul bukan penghasil buah-buahan yang biasanya digunakan dalam pembuatan kripik buah.
Di artikel lanjutan, saya akan membahas mengenai hal-hal yang diperlukan sebelum memulai suatu usaha makanan.
No comments:
Post a Comment